Tuesday, May 4, 2010

Rubiat ArRumi

Air kehidupan

terselimut bagai kado

dalam raga

dan karenanya kau tak bisa lihat itu

kedirianmu lenyap dan menempatkanmu

segel pada hati

dan menyembunyikan cinta selamanya

bukalah segel itu

selamatkan cintanya

kenapa takut?

Ada jalan rahasia dalam hati

pergi dan temukan sang kekasih

Prolog

apa sebenarnya saya? siapa sebenarnya saya? darimana asal muasal saya? kenapa saya harus ada dalam dunia yang tak berkejelasan ini? jangankan saya, dunia ini sebenarnya apa? Terkadang pertanyaan-pertanyaan ini sejenak terlintas dalam benak dalam diri tiap individu, pertanyaan yang seharusnya sangat sederhana sekali termaknai dikarenakan proses empiris yang dialami. tapi ternyata ini menjadi suatu yang sangat sulit dijelaskan. tapi pada dasarnya, pragmatisme terdogma dalam jiwa individualistik manusia menyebabkan segilintir pertanyaan diatas menjadi suatu hal yang tak perlu di perhatikan.

tapi apakah dengan menafikkan hal-hal menjadikan fenomena-fenomena tersebut sebagai suatu hal yang jelas dan menjelaskan? dalam artian ketika kita menafikkan fenomena bahwa apakah Kopi itu ada atau tidak, lantas kopi itu dengan sendirinya menjelaskan bahwa dia ada?

ketika memang begitu adanya, kemudian muncul sebuah pertanyaan, jika memang kopi ada, apakah kopi itu adalah wujud yang mandiri di luar diri kita ataukah itu hanyalah mainan pikiran semata. sekiranya kopi itu adalah real di luar pahaman manusia, masih adakah kopi jika indera manusia tidak mempersepsikannya? jawabannya tidak. nah sekiranya kopi bergantung pada persepsi inderawi kita, apakah yang lebih real kopi itu sendiri ataukah persepsi indera kita?

pertanyaan-pertanyaan diatas yang sekilas terlihat mudah ternyata masih menjadi suatu pertanyaan besar, yang mana kejelasan tentang sesuatu itu, beranjak dari alat epistemology yang kita gunakan. sehingga melahirkan sebuah pandangan dunia. dan terkadang badai skeptisisme menjadi benalu bagi paradigma kita sehingga melahirkan kesalahan-kesalahan dalam berpikir (fallacy).

analogi diatas hanyalah salah satu contoh dari beberapa paradigma dalam memecahkan sebuah kebenaran. tak bisa dipungkiri epistemologi kita lah yang nantinya menjadi landasan pijak seseorang dalam menafsirkan fenomena-fenomena alam semesta. yang pada akhirnya memberikan suatu nilai (axiology)tentang sesuatu yang ada (ontology).
sehingga dibutuhkannya perenungan yang intensif agar kita mendapatkan kebenaran karena dengan kebenaran tabir kesalahan tertutupi, hijab pengetahuan tentang keADAan semesta terungkap, dan dengan kebenaran jiwa-jiwa menuju pada yang Maha Benar.

"hidup adalah bagaimana kita mencari kebenaran yang mutlak, sedangkan jalan kehidupan adalah bagaiman kita mencapai hakikat kebenaran itu sendiri".